Daftar Kunjungan

Kamis, 13 November 2014

Tirtonadi Park


DINAMIKA PERKEMBANGAN TAMAN TIRTONADI
DI SURAKARTA TAHUN 1911-2008



A. Latar Belakang

Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Solo, merupakan sebuah kota budaya yang terkenal dengan keberadaan dua keraton besar peninggalan Kerajaan Mataram yang masih ada hingga kini. Dua keraton ini menjadi simbol bagi Solo sebagai salah satu kota penting yang memperkaya khazanah kultural bangsa Indonesia. Keraton tersebut bernama keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Kedua keraton ini mencapai kejayaannya pada masa Paku Buwono XI untuk Kasunanan dan Mangkunegara VII untuk Mangkunegaran. Dimana keduanya saling bersaing sehat dalam hal menyejahterakan rakyat, yakni dengan memperbaiki dan membangun fasilitas umum untuk kota Solo.
Fasilitas umum yang dibangun oleh Mangkunegara VII saat itu diantaranya dalam bidang ekonomi, transportasi, dan tempat hiburan. Tempat hiburan menarik yang dibangun pada masa Mangkunegara VII salah satunya adalah taman kota. Taman kota merupakan salah satu lahan yang sering dipergunakan untuk mengatasi kebutuhan ruang hijau kota, karena taman kota bukan sekedar ruang geometris tetapi juga ruang sosial.[1]
Konsep kota Surakarta sebagai “Solo Berseri” sebenarnya telah muncul sejak masa pemerintahan Mangkunegara VII. Hal in ditandai dengan pembangunan sarana umum antara lain: Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah Park, Societeit Sasono Suko (SSS). Taman Tirtonadi yang dihadirkan oleh Mangkunegara VII kala itu terletak di kampung Gondang Wetan Kelurahan Manahan, Kecamatan Banjarsari dan berada di pinggir Kali Pepe dan Kalianyar, sekaligus Taman Minapadi yang berada di seberang Taman Tirtonadi[2].
Fungsi umum dari taman kota ini banyak sekali yaitu tempat bersantai dan berolahraga, komunikasi sosial, fungsi ekologi meliputi penyegaran udara, penyerapan air hujan, pencegahan banjir dan memelihara ekosistem tertentu. Namun, pada perkembangannya keberadaan taman-taman kota sebagai ruang publik tersebut mulai tak terawat dan beberapa telah berganti fungsi bahkan hilang dan hanya bisa ditemukan dalam memori kolektif masyarakat.
Keraton Mangkunegaran mencapai zaman keemasan ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Mangkunagara  VII  yang berkuasa pada tahun 1916-1944. Bermodal setumpuk uang kas praja, Mangkunegara VII ingin mengubah daerah kekuasaannya menjadi indah dengan memakai konsep garden city Negeri Kincir Angin Belanda
Pada prinsipnya, garden  city merupakan konsep untuk mewujudkan suatu industri dengan kehidupan industri sehat yang memungkinkan adanya kehidupan sosial yang sehat dan harmoni. Maka Mangkunegara VII segera membuat beberapa taman kota, satu diantaranya adalah Taman Tirtonadi yang indah pada awal abad XX dan mengalami kerusakan dan revitalisasi pada perkembangannya.
Sehingga dari adanya latar belakang tersebut diatas memunculkan suatu permasalahan yaitu bagaimanakah dinamika taman Tirtonadi sebagai taman kota dari masa Mangkunegara VII tahun 1911 sampai revitalisasi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) tahun 2008 dan juga apakah penyebab dari adanya alih fungsi taman-taman kota tersebut dari tahun 1911-2008. Dan semoga dengan adanya penelitian ini dapat membantu menjawab pertanyaan tersebut di atas sekaligus memberi wawasan kepada masyarakat luas tentang dinamika kondisi taman Tirtonadi dari tahun 1911-2008.
B. Sejarah ‘Keemasan’ Taman Tirtonadi (1911-1945)
Taman Tirtonadi yang berada di Gondang Wetan, Kel. Manahan, Kec. Banjarsari Solo ini,  merupakan peninggalan Mangkunegara VII. Taman Tirtonadi pernah masyhur pada tahun 1941.[3] Taman Tirtonadi ini sebenarnya sudah terjadi secara alami, dengan kata lain taman ini sudah terbentuk karena kondisi alam yang mendukung tanpa harus bersusah payah untuk membuatnya menjadi sebuah taman yang dipenuhi oleh pepohonan. Karena taman ini pada awal abad XX adalah kawasan yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar yang rindang dan dihiasi oleh aliran Sungai Pepe yang luas dan indah. Jalanannya pun masih setapak, hingga ketika pembuatannya Mangkunegara VII tidak mengalami kesulitan hanya tinggal merenovasi sedikit dengan menambah fasilitas-fasilitas taman seperti kolam kecil dan arena bermain.
Pada awal pembuatannya Taman Tirtonadi menjadi bagian dari Partimah Park. Karena sebelum taman Tirtonadi yang berada di sebelah barat kolam selesai dibangun, disebelah timur kolam lebih dulu telah diadakan taman kanak-kanak yang bernama Partimah Park. Karena Partimah Park ini sangat luas maka Taman Tirtonadi dianggap menjadi bagiannya. Menurut kesaksian saksi mata ketika penelitian ini, diperkirakan luasnya sampai ke lokasi Terminal Tirtonadi yang saat ini sedang dalam proses pembangunan. Persisnya dari Taman yang sekarang sampai ke Barat di tempat orang berjualan kijing.[4]
Kedua taman ini pada masa kolonial dikenal dengan sebutan Partimah Park/Tirtonadi Complex. Nama Partimah Park sendiri diadopsi dari nama salah satu puterinya. Semua taman yang ada di Solo itu diambil dari nama anak-anaknya seperti Partini Twin, Partinah Bosch, Partimah Park dan Kusuma Wardhani. Hal ini untuk mengingatkan tujuan tertentu agar anaknya bisa jadi terkenal.[5]
Pembuatan Taman Tirtonadi sebetulnya merupakan tindak lanjut dari usaha Mangkunegara VII bersama Belanda untuk mengatasi banjir tahunan yang seringkali melanda Kota Solo. Sebelum dibangunnya tanggul disebelah Utara dari kota Solo, di kali Pepe yang letaknya ditengah kota, pada musim-musim hujan airnya selalu meluap hingga menimbulkan banjir. Oleh karena itu untuk mengatasinya maka pada tahun 1903 digalinya banjir kanal yang menjurus ke bengawan solo. Proyek kolosal tersebut dikerjakan oleh tenaga manusia baru dapat diselesaikan pada tahun 1911. [6]
Dan bersamaan dengan selesainya pembangunan tanggul dari utara Balaikambang dan dari sebelah timur sampai ke daerah kandang sapi, dimanfaatkanlah air Kali Pepe yang mengalir melalui pintu air Kali Anyar dan sekaligus untuk memoles pemandangan, dibuatlah kolam kecil dan dihiasi bunga teratai. Kemudian kolam itu diberi nama Tirtonadi. Tujuan Mangkunegara tujuh ini memberi hiburan untuk rakyat, disamping Balaikambang juga Tirtonadi. [7]
Selama pembangunan tanggul tersebut secara kebetulan bersamaan dengan terjangkitnya wabah lepra di Solo hingga sangat menakutkan penduduk. Adanya pintu air dari banjir kanal untuk mengatur mengalirnya air Kali Progo menyebabkan kota Solo terhindar dari banjir yang datangnya dari arah Utara. Kali Pepe baru meluap jika pintu air yang menghubungkan dengan bengawan solo ditutup untuk menghindari masuknya banjir dari bengawan, dengan demikian maka penduduk yang ada dibagian utara cukup merasa aman. [8]
Dulu Sungai Pepe yang merupakan bagian dari Taman Tirtonadi juga digunakan sebagai sarana transportasi. Hal ini dikarena dulu sugai besar dan pada perkembangannya terjadi penyempitan dan semakin dangkal. Di sekitar sungai dan taman itu dulu banyak pohon besar yang menjadikan suasana sejuk, adem, hati tenang.[9] Pembuatan Taman Tirtonadi ini hampir bersamaan dengan dibukanya lalu lintas menjelang pecahnya perang Pacific yang pada waktu itu terkenal sebagai snel-verkeer ialah jarak antara daerah kampung Teposanan dengan melalui Balekambang sampai di daerah Kleco.[10]
Tak lama kemudian, Setelah menyelesaikan pembangunan taman rekreasi disebelah selatan banjir kanal (Taman Tirtonadi), dibangun sebuah telaga kecil untuk mengail ikan dan olahraga sampan. Sesuai dengan keadaannya maka telaga bekas sawah yang ditaburi dengan bibit ikan diberi nama Mina padi. Untuk menambah indahnya pemandangan, dibuat kreteg kecil yang lebarnya kira-kira satu meter yang menyambung kepada obyek wisata Taman Minapadi, telaga buatan untuk perahu tersebut.[11] Dibangunnya jembatan penghubung antara Tirtonadi dan Minapadi ini dinamakan kreteg senggol, lantaran jaraknya sempit sehingga orang yang berpapasan pasti bersenggolan. 
Kondisi taman saat itu setiap sore anak-anak kecil dengan ramainya bermain di taman dengan naik ombak banyu, timbangan dan gandulan. Orang solo terkenal suka begadang pada malam hari, maka taman tirtonadi yang sore harinya menjadi taman rekreasi untuk anak-anak kecil dan remaja malam harinya penuh dengan orang dewasa.[12]
Adanya taman tirtonadi membuat daerah disekitarnya menjadi ramai dan indah serta rakyat disekitarnya juga bisa mendapat penghasilan dari berjualan didalam taman tersebut. Pada waktu-waktu tertentu Mangkunegara VII secara incognito meninjau taman tirtonadi selain untuk menghirup hawa segar juga untuk menyaksikan secara langsung suasana dan segala sesuatunya guna menentukan sarana yang sesuai untuk kemajuan taman.
B. Taman Komunitas Seniman
Dulu oleh Mangkunegara VII, taman didesain sebagian digunakan untuk kebun dan sebagian untuk taman hiburan, juga terdapat kolam kecil. Kolam itu tidak hanya kolam untuk hiburan saja namun sifatnya dwifungsi. Kolam selain sebagai untuk tempat bermain seperti ada perahu-perahu kecil juga sebagai tempat penampungan air dari sungai yang meluap.[13] Di kolam tadi terdapat beberapa patung kodok dan batu lintang, sehingga banyak anak-anak yang mandi di sana.
Konon, batu tersebut sangat terkenal sekali. Bentuknya yang sangat besar dan memancarkan cahaya berwarna-warni terlihat sangat indah. Adanya batu lintang ini menjadi bahan perbincangan dari mulut ke mulut. Karena pada saat itu sesuatu yang gemerlap menjadi suatu yang “wah” bagi masyarakat kecil. Mereka melihatnya sebagai budaya yang baru dan adanya batu lintang ini menyedot perhatian anak-anak kecil untuk bermain di Taman Tirtonadi ketika itu.[14]
Seiring berjalannya waktu, kondisi Kompleks Taman Tirtonadi/Partimah Park berubah dari segi luas taman dan kondisi sungainya. Sekitar tahun 1940-1960an Taman Tirtonadi yang merupakan bagian dari Partimah Park mulai digunakan sebagai ruang publik untuk komunitas seniman. Seringkali digelar pertunjukan seni.
Pada tahun 1940-an taman ini digunakan untuk tujuan pentas-pentas kethoprak dan acara kesenian lainnya, meskipun hanya diadakan di panggung. Tahun 1942 juga diramaikan oleh tontonan “Ni Dhok-Ni Dhiwut”, yang diadakan oleh kenya-kenya kampung kanan-kirinya.[15] Taman Tirtonadi memang dibangun sebagai lokasi kegiatan budaya masyarakat yang ramai menjadi tempat para seniman dan budayawan mengapresiasikan cipta, rasa, dan karsanya. Bahkan karena keindahan taman tersebut, tahun 1941 Gesang tergugah inspirasinya untuk menciptakan lagu langgam “Tirtonadi” yang pertama kalinya dimainkan oleh orkes “Bunga Mawar” pimpinan almarhum RBY. Suprono
Dan secara kebetulan adanya kedua tempat rekreasi tersebut menimbulkan inspirasi terciptanya lagu Tirtonadi dan Minapadi. Berkumandangannya lagu Tirtonadi dan Minapadi ternyata dapat mempercepat terkenalnya kedua tempat hiburan tersebut yang tidak hanya tenar didalam negeri saja bahkan sampai ke negeri Jepang dan dijadikan sarana untuk mendapatkan pengaruh dari rakyat Indonesia.
Pada permulaan perang pasifik  yang didengungkan sebagai perang Asia Timur Raya sebelum Jepang dapat menduduki Indonesia dalam salah satu usahanya menarik partisipasi rakyat Indonesia, radio Tokyo hampir tiap malam menyiarkan kedua lagu tersebut sesudah menggelorakan lagu kebangsaan Indonesia raya kemudian disusul dengan warta berita dan propaganda lainnya. Selama pendudukan Jepang di Indonesia, Tirtonadi dan Minapadi sempat mendapat pemeliharaan dan kunjungan oleh para pesiar tapi ketika bangsa Indonesia mendapat perjuangan fisik dalam mempertahankan kemerdekaan kedua tempat tersebut tidak mendapat perhatian.[16]
Sekitar tahun 1960-an, pertunjukan yang dilakukan para seniman ini hanya dilakukan setiap hari Minggu. Seni yang dipertontonkan adalah seni musik keroncong, yang saat itu sedang berada di puncak kepopularitasan. Diantara seniman tersohor kala itu adalah penyanyi keroncong yang dikepalai oleh Samsidi, “Irama Sera”, “Putra Remaja” dan lagu-lagu Gesang seperti Tirtonadi yang Permai masih sering dinyanyikan. Dan seringkali pertunjukan musik tersebut diiringi oleh gamelan.[17]
Sedangkan untuk pertunjukan seni ketoprak tidak digelar di dalam Taman Tirtonadi, tetapi berada di luar taman, tepatnya di sebelah timur terminal yang lama. Ketoprak dilakukan di sebuah barak yang semi permanen. Barak ini bukan bangunan dari cor-coran tapi tobong. Kethoprak yang terkenal tahun itu adalah “Ngesti Widodo” dan “Sari Bedhoyo”. Untuk pemain kethoprak dan seniman keroncong ini bukanlah seniman yang tetap, tapi mereka tampil secara bergiliran. Mereka sering tampil dari satu tempat ke tempat lain. Hanya saja Taman Tirtonadi tahun 1940-1960an taman ini menjadi salah satu tempat berkumpulnya para seniman di kala senggang, meski mulai tahun 1960an eksistensi Taman Tirtonadi sebagai tempat berkumpulnya seniman sudah mulai pudar.[18]
Tempat kethoprak biasa manggung ini pada tahun 1970-an di beli oleh Almarhum Teguh Srimulat dengan harga yang masih relatif murah jika dihitung dengan standard mata uang rupiah saat ini, yaitu seharga Rp. 90.000,-. Dan pada perkembangannya tempat itu dijual kembali.[19]
C. Pasca Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan, kedua taman itu mulai kurang mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan adanya peristiwa Gerakan Anti Swapraja yang berdampak pada pengalihan tanah-tanah milik Mangkunegaran dan Kasunanan kepada Pemerintah Kota Surakarta, termasuk di dalamnya adalah Taman Tirtonadi. Kompleks Taman Tirtonadi yang awalnya sangat luas, ketika berada di tangan Pemkot luas lahan taman tirtonadi menjadi semakin sempit dan berubah fungsinya sesuai dengan kebijakan Walikota yang sedang menjabat.
Kondisi taman ini sekitar akhir tahun 1960, tepatnya masa orde baru mulai tidak terawat namun setiap sore, taman ini masih dipenuhi anak-anak kecil dan pelajar yang bermain. Sementara muda-mudi memadu kasih di taman pada malam hari dengan menikmati keindahan bulan dan suara jangkrik. Penduduk sekitar pun dapat mengais rezeki dengan berjualan bermacam-macam makanan dan minuman di dalam taman. Interaksi sosial terjadi dan kapital sosial mulai tumbuh. Dampaknya, hubungan sosial dan kerukunan masyarakat terjaga.
 Namun, masuknya paham kapitalis di Indonesia pada era ini menyebabkan berkurangnya lahan hijau dan digantikan dengan industrialisasi. Industrialisasi yang ada di sekitar Taman Tirtonadi mulai tampak ketika dibangunnya terminal Tirtonadi dan munculnya toko-toko. Hal ini berdampak pada penyempitan lokasi Taman Tirtonadi dan perluasan Jalan Raya. Jalan Raya pun yang awalnya hanya jalan setapak berubah menjadi jalan yang halus beraspal.
Adanya pelebaran jalan pada masa awal orde baru ini menghilangkan pohon-pohon yang ada di sekitar taman. Munculnya bis dan truck besar telah menghilangkan suasana intim untuk tempat berkumpul di taman. Penebangan pohon juga menciptakan suasana yang semakin gersang dan panas.
Akan tetapi, Pada masa Walikota R. Koesnandar (1968-1975), sewaktu pemeliharaan taman termasuk dalam tugas seksi jalan-jalan dari dinas pekerjaan umum kota Surakarta, Taman Tirtonadi sempat diperbaiki kembali dengan sangat baik. DAM dan pintu air diperbaiki agar dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Air kolam selalu penuh dan dijaga kebersihannya serta dihias dengan bunga teratai. Di jalan tembusan yang berdekatan dengan Tirtonadi pinggir-pinggirnya ditamani bunga-bungaan hingga menambah indahnya pemandangan. Setelah menteri Ir.Sutami menyaksikan bahwa kreteg senggol yang menghubungkan Tirtonadi dan Minapadi dalam keadaan rusak untuk mengembalikan romantisnya citra kedua tempat hiburan maka beliau membangunkan jembatan baru sebagai gantinya kreteg senggol.[20]
D. Taman vs Terminal Tirtonadi
Memasuki tahun 1975, ditimur Taman Tirtonadi yang merupakan pemukiman penduduk dan sebuah lapangan, dijadikan terminal bus menggantikan Terminal bus menggantikan Terminal Bus Harjodaksino yang kondisinya sudah tidak memungkinkan dikembangkan lagi. Pilihan lahan ditempat itu memang awalnya karena cukup strategis. Berada di kawasan pinggiran kota (Solo dibagian utara) dan dekat  pinggir jalan    antarprovinsi yang menjadi jalur kelas satu arus lalu lintas angkutan berat, sehingga berkembang pesat.
Terminal itu menjadi pusat angkutan penumpang dari berbagai kota dan provinsi keberadaannya juga mengilhami seniman Ranto Edi Gudel  untuk menciptakan lagu”Terminal Tirtonadi” yang dinyanyikan oleh Didi Kempot. Seiring dengan berkembangnya terminal, lingkungannya juga berkembang. Berbagai usaha yang mendukung aktivitas  terminal  seperti penitipan kendaraan, penginapan, rumah makan dan juga pekerja seks, kian merebak. Akibatnya kawasan terminal itu tidak seindah namanya seperti dalam untaian syair lagu “Taman Tirtonadi”
Awalnya lahan yang digunakan terminal masih sebatas areal bekas pemukiman warga, ditambah lapangan. Sekitar 1986 areal terminal diperluas menjadi sekitar lima hektar. Salah satu lokasi perluasan adalah Taman Tirtonadi . namun, saat ini belum semua taman digunakan untuk terminal. Perluasan dilakukan dengan menutup sebuah kolam rekreasi yang menjadi hulu Sungai Kali Pepe yang membelah Kota Solo. Sisa taman itu kini semakin kumuh, karena digerayangi warga untuk usaha warung makan dan kios, juga kerajinan batu nisan.[21]
Sejak awal memang sudah dirancang terminal untuk kelas A yang lahannya minimal lima hektar. Sebenarnya kalau sekedar memenuhi luas tersebut. Sisa tanah di Taman Tirtonadi sudah bisa dimanfaatkan. Namun, perkiraan ketika itu dalam perkembangan 10-15 tahun mendatang bias jadi lahan itu pun sudah tidak mencukupi. Sehingga, beberapa   pejabat dan tokoh masyarakat menganggap perlu relokasi untuk mengurai masalah diterminal itu, termasuk arus lalu lintas dijalan sekitarnya. [22]
Dan sekitar tahun 1988 Minapadi sebelah utara Taman Tirtonadi yang indah menjadi kampung dan kreteg senggol kerap kali terkena banjir. Bahkan parahnya lagi di kanan kirinya taman, dipenuhi warung-warung “remang-remang” papan operasinya WTS. Blumbang di depannya tinggal terlihat lumpurnya, sebab airnya seringkali kering. Dan Taman Tirtonadi ini masuk “daerah rawan”, jadi papan operasinya “penjahat bajing loncat” yang sering mengganggu truck-truck jurusan Surabaya-Jakarta dan jadi sarangnya para penodong yang memancing korbannya.[23]
Kurangnya perawatan terhadap taman tirtonadi pada tahun 1988  disebabkan kurangnya dana Pemerintah Daerah (Pemda) Kotamadya Surakarta dan tidak cukup untuk menghidupi taman-taman milik Mangkunegaran. Karena Kantor Dinas Pariwisata Kodya Surakarta diberi anggaran Rp 350 juta tiap tahunnya, penghasilannya Rp. 190 juta, sehingga pemerintah perlu melakukan kerjasama dengan investor, namun hal tersebut juga tidak mudah.[24]
  Pada tahun 1988 Taman Tirtonadi mengalami kerusakan yang cukup parah. Terlihat kotor dan tidak terawat, mulai banyak pohon-pohonan yang ditebangi. keberadaan ruang publik itu malah semakin tenggelam. Perebutan ruang terjadi. Wilayah ini berkembang menjadi pusat aktivitas transportasi berupa terminal bus dan nama Tirtonadi diabadikan menjadi nama terminal. Keberadaan terminal membuat kondisi taman semakin tidak karuan dan kumuh. Adanya tempat pencucian mobil, tambal ban, dan orang jualan nisan menambahkan kesumpekan. 
Memasuki tahun 1990-an, kondisi Sungai Kali Anyar dan Pepe semakin dangkal. Taman sudah tak terawat, yang terlihat hanya tanggul yang membentang sepanjang bantaran sungai dan rimbunan pohon liar. Adanya industialisasi pada tahun 1990-an ini memicu munculnya kaum urban dari wilayah –wilayah desa sekitar Surakarta dan wilayah luar Surakarta seperti Madiun, Magetan, Ngawi, dsb.Mereka berbondong-bondong datang untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Sebagian dari mereka beralasan karena ingin mencari pengalaman dan meraskan kehidupan di kota.
Tahun 1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia kaum urban ini merasakan sulitnya mencari lapangan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Jika pada masa sebelum terjadi krisis ekonomi seorang tukang becak mendapatkan upah sehari bisa untuk makan 3 hari, sedangkan pada masa krisis ekonomi upah sehari untuk makan sehari terkadang masih kurang.[25]
Memasuki Milenium 2000 angka PKL di Surakarta semakin melonjak dan Bantaran Sungai Pepe dan Kali Anyar yang awalnya dihiasi oleh Taman Tirtonadi berubah fungsi menjadi Taman Para PKL. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat hingga akhirnya para PKL ini mendirikan bangunan semi permanen untuk tempat tinggal. Perluasan Terminal Tirtonadi membuka peluang besar bagi mereka untuk bersikukuh tinggal di sepanjang bantaran.
 Minapadi dan Tirtonadi sekarang ini kurang mendapat perawatan. Ditaman yang indah dan letak tanamannya teratur, sekarang terlihat adanya mobil-mobil yang dicuci dan tambal ban. disebelah barat taman dipinggir jalan raya yang semula dihias dengan tanaman bunga kini terdapat penjual-penjual kijing. Jika dahulu pengendara mobil datang, untuk menikmati pemandangan, maka kedatangannya sekarang untuk mencuci mobil dan menambal ban atau membeli kijing. Mengenai nasib kedua objek tersebut pada tahun 1960an bernasib menyedihkan .  [26]
E. Revitalisasi Taman Tirtonadi

Taman Tirtonadi jika dilihat dari segi lokasi, sangatlah strategis karena berada di depan terminal Tirtonadi dan berada di bantaran kali Pepe dan Kali Anyar. Jalan Raya depan taman juga merupakan jalur kendaraan besar menuju arah Solo- Semarang. Sehingga, harusnya taman ini berfungsi secara optimal. Hanya saja pengelolaannya yang belum maksimal baik dari pemkot ataupun masyarakat itu sendiri.
Menurut Whyte dalam Carmona (2003) ruang publik yang bisa berfungsi optimal untuk kegiatan publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri antara lain : merupakan lokasi yang strategis (sibuk), mempunyai akses yang bagus secara visual dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu jalan (jalur sirkulasi), mempunyai tempat untuk duduk – duduk antara lain berupa anak-anak tangga, dinding atau pagar rendah, kursi dan bangku taman, ruang yang memungkinkan penggunanya dalam melakukan aktifitas komunikasi bisa berpindah – pindah tempat / posisi sesuai dengan karakter dan suasana yang diinginkan.[27]
Kawasan Taman Tirtonadi sebelum direvitalisasi adalah kawasan pemukiman tidak sah artinya itu bantaran yang dihuni secara ilegal kemudian dikembalikan fungsinya oleh pemkot sebagaimana fungsinya sebagai bantaran sungai yang memiliki fungsi kawasan penyangga banjir, daerah resapan air, dan sebagai dinda yang membentang sampai sana. Sekitar tahun 2005 itu mulai menjamur rumah liar, tahun 2006 dibersihkan, 2007 dibangun, 2008 diresmikan. Ukuran luas Taman Tirtonadi pada tahun 2008 adalah sekitar 350 m². Biaya keseluruhan untuk pembangunan adalah 1,2 M.[28] Pembangunan ini diharapkan akan memberi manfaat bagi masyarakat Solo khususnya dan pendatang umumnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 60b, UU. Penataan Ruang bahwa masyarakat berhak untuk memperoleh dan menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Sehingga jangan sampai penataan ruang seperti halnya pembangunan publik space taman kota di Solo tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat Solo.[29]
Selain itu juga untuk menumbuhkan pencritaan sebuah kota Solo sebagai kota tujuan yang menyenangkan ingin dimunculkan karena letaknya adalah didepan terminal Tirtonadi. Keberadaan taman ini seolah mengukuhkan kota ini sebagai kawasan yang peduli dengan lingkungan hidup disaat hunian liar tengah menjamur. Karena maraknya hunian liar, pembangunan taman itu juga untuk mengembalikan ekosistem alam sebagaimana mestinya, yakni kawasan hijau.[30]
Sayangnya, niat baik pemerintah kota kurang mendapat dukungan dari masyarakat yang datang ke Taman Tirtonadi tersebut. Pasca revitalisasi, dalam jangka waktu yang singkat terjadi beberapa kerusakan pada taman serta fasilitasnya. Misalnya saja bangunan taman retak-retak, lampu disepanjang taman bagian pinggir sungai hilang dan tidak berfungsi, pepohonan bagian bawah mati, tempat sampah rusak dan hilang, corat-coretan di dinding tembok, taman air mancur yang tidak berfungsi, sampah dan genangan air dilantai. Taman Bagunan retak meliputi: tangga batu dan dinding batu kemudian dinding batu yang copot. Tidak diketahui lampu tidak ada sejak kapan, tempat sampah seharusnya ada tutup dari besi namun ada yang hilang bahkan ada tempat sampah yang hilang dari tempatnya.[31]
Kondisi taman yang kurang terawat dan terjaga akan berimbas kepada manfaat yang diperoleh masyarakat dari keberadaan taman kota itu sendiri. Sehingga, menghilangkan fungsi taman yang seharusnya. Estetika atau keindahan, kenyamanan taman kota berkurang. Hal ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk berkunjung ke taman tersebut.
Semua bantaran sungai itu adalah tanah negara. Konsep sungai itu sampai 20 meter adalah bantaran sempa dan sungai itu tidak boleh dihuni, bantaran sungai itu tidak ada yang punya. Sehingga, segala sesuatu yang mengganggu wilayah sekitar bantaran termasuk rumah liar akan digusur. Ketika tahun 2006 walikota yang menjabat adalah Joko Widodo dan konsepnya Jokowi itu bagaimana menata supaya rapi lahan bantaran tersebut. Mereka diberi biaya pembongkaran dan transportasi. Mereka yang mau pulang akan diantar selama masih di kawasan Wonosubo Sraten. Pihak yang mengurusi masalah pembongkaran itu adalah satpol bekerjasama denga kantor PKA.
Sebenarnya konsep itu mengarah kepada Water Front City yaitu konsep taman kota yang berbatasan langsung dengan perairan dalam hal ini sungai yang termasuk sebagai daya tarik pengunjung.ini merupakan salah satu upaya penataan kawasan bantaran sungai. Taman Tirtonadi adalah salah satu dari usaha pengembangan tersebut.[32]
 Sebetulnya bisa dijadikan taman bermain hanya memang konsep tamannya terlalu maju untuk kebutuhan Surakarta waktu itu. Sehingga biaya pemeliharaan dan kesiapan masyarakat tidak siap untuk itu. Sehinggan alat-alatnya banyak yang dicuri dan dirusak lampu-lampunya. Lampu taman itu mahal-mahal semua. Konsep taman ini meniru konsep taman di Seoul. Konsep awal memang seperti itu tapi akhirnya tidak dapat berjalan karena persoalannya pada biaya. Biaya pemeliharaannya tidak ad,  sekedar masyarakat diminta untuk memelihara dan memanfaatkan taman itu.[33]
Dalam revitalisasi taman Tirtonadi ini Badan Lingkungan Hidup lah yang membangun, karena saat itu BLH yang punya uang, yaitu dari dana DAK (Dana Alokasi Khusus)sekitar 1,5 M. Kemudian pada saat itu Jokowi tidak mau ruang itu terbuka terlalu lama karena nanti akan dihunui Dan pembangunan itu masuk wilayah konservasi lahan. BLH melakukan konservasi sebagai daerah penyangga banjir dan resapan air.
Sebelum Taman Tirtonadi mengalami revitalisasi pada tahun 2007, kondisi nya sangat kumuh. Bantaran sungai yang dulunya adalah tanggul untuk menangkal banjir berubah fungsi menjadi lahan-lahan yang digunakan sebagai tempat tinggal, warung-warung, Ruko-ruko untuk tata usaha,  tempat pangkalan becak, PKL hingga tempat berkumpulnya para copet dan preman. Keadaan sekitar sungai menjadi semrawut dan mengganggu arus lalu lintas. Apalagi di depan Taman Tirtonadi adalah sebuah terminal bus. Lalu lalang kendaraan dari mulai bus, mobil, hingga becak tak pernah surut.
Menurut pengakuan salah seorang pedagang kaki lima, warung-warung liar itu mendapatkan izin dr walikota yang dulu, pak slamet. Dengan syarat membayar pajak dan iuran tiap bulanan. Kondisi pasca revitalisasi dianggap praktis dan  jalanan menjadi lancar. Akan tetapi, untuk lokasi usaha rakyat kecil kurang menjamin. Karena pasca revitalisasi PKL dilarang berdagang di pinggir Taman Tirtonadi. Jika Satpol PP sedang beroperasi para PKL akan diusir. Kondisi orde baru dianggap lebih enak bagi para PKL karena lapangan kerja masih  bebas dan tidak ada larangan berdagang. [34] Namun demikian adanya PKL yang terus meningkat tiap tahunnya membuat pemerintah bertindak untuk menekan angka PKL, meski tidak menjanjikan lapangan kerja yang nyata.
Sebelah timur Terminal Tirtonadi yang awalnya masih menjadi bagian dari Taman Tirtonadi sempat menjadi tempat seniman kethoprak menggelar pertunjukan. Mereka  bermain di sebuah ruangan yang semi permanen. Antusias penonton  tidak kalah dengan pementasan ketoprak yang berada di gedung mewah.[35] Kemudian sekitar tahun 1990an bangunan permanen tersebut beralih fungsi menjadi pom bensin dan kemudian saat revitalisasi taman Tirtonadi ini, pom bensin dibongkar dan dibuatlah taman kecil berhiaskan patung ular sebagai “pemanis jalan”.[36]
Pasca revitalisasi tahun 2007-2008, pemkot membuat aturan yang lebih ketat untuk Taman Tirtonadi agar kondisi taman lebih teratur. Misalnya saja dengan adanya tempat parkir motor dan mobil bagi pengunjung dengan tarif Rp. 500,- kala itu dan tukang parkir diwajibkan membayar pajak langsung ke UPTD.[37]Sudah sejak awal didirikan Terminal Tirtonadi, sudah terdapat beberapa lokasi pangkalan becak. Hanya saja tempatnya masih tidak karuan. Sejak revitalisasi taman, tempat pangkalan becak mayoritas berada di depan tempat parkir kendaraan Taman Tirtonadi.
Sedangkan warung-warung yang berdiri di depan dan samping terminal Tirtonadi dan tepat berada di depan Taman Tirtonadi adalah warung milik perorangan. Lokasi sebelum didirikan warung-warung pribadi ini adalah sebuah parkiran milik orang China dan barulah mulai berdiri warung-warung kecil yang rata-rata milik kaum urban baik wilayah sekitar Solo ataupun luar kota Solo. Sehingga, para pemilik warung ini hanya membeli hak bangunan saja. Pada masa pemerintahan Jokowi, warung-warung ini dirapikan dan mendapat status resmi dan PKL ini dinamakan PKL Mugirahayu.[38]
Sebelum adanya revitalisasi Taman Tirtonadi ini, menurut pengamatan warga sekita kriminalitas sangat tinggi. Banyak berkeliaran para copet dan preman. Copet tidak mudah ketahuan karena memang mereka memiliki komunitas sendiri dan melarikan diri ke warung-warung di bantaran sungai tersebut. Copet yang sudah masuk ke dalam warung rata-rata akan merasa aman karena aparat akan sulit melacaknya, mereka sudah berbaur dengan pembeli warung tersebut. Kondisi copet yang seperti itu bukan lagi menjadi rahasia umum bagi penjual warung dan warga penghuni bantaran Kali Anyar tersebut, tetapi uniknya para pemilik warung hanya diam saja tanpa mau tahu apa yang telah dilakukan copet. Karena mereka merasa terancam jika berani membongkar rahasia tersebut. Mereka berprinsip “urusan masing-masing”. Sehigga keadaan Bantaran Sungai ini sebelum revitalisasi sangat ramai terlebih ketika malam hari karena banyak yang mangkal di warung-warung, untuk kegiatan sekedar ngopi dan ngobrol sampai permainan dadu, capjikia, rolet pakai koin sampai “karaoke plus-plus”. Maka, seringkali disebut sebagai “Lembah Hitam”. Hal ini berbeda dengan keadaan setelah di bangun kembali Taman Tirtonadi, kondisi pada saat malam hari menjadi tidak seramai dulu, dan menjadi lebih aman karena hal-hal tersebut sudah  diberantas  walaupun ada yang masih  ngumpet-ngumpet.[39]
Adanya revitalisasi ini juga berpengaruh terhadap kondisi sungai pepe dan kali anyar. Pada tahun 2007, masa pemerintahan Joko Widodo, karena sungai mengalami pendangkalan maka dilakukan pengkedukan kembali. Adanya revitalisasi ini tidak terlepas dari keinginan pemerintah kota solo untuk merealisasikan branding Solo, “kota dalam kebun”  dan juga mengingat adanya undang-undang yang megatur Sungai untuk menjaga dari kerusakan. Diantaranya adalah UU Sungai pasal 21, yang berisi sebagai berikut:
Pasal 21:
1. Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
2. Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan melalui:
a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b. pengendalian pemanfaatan sumber air;
c. pengisian air pada sumber air;
d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiata,
f.pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
g. pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;g. pengaturan daerah sempadan sumber air;
 h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/ataui. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
3. Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
4. Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara vegetative dan/atau sipil teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.
5. Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[40]
F. Kesimpulan
Taman Tirtonadi yang berada di Gondang Wetan, Kel. Manahan, Kec. Banjarsari Solo ini,  merupakan peninggalan Mangkunegara VII tahun 1911. Taman Tirtonadi ini sebenarnya sudah terjadi secara alami, dengan kata lain taman ini sudah terbentuk karena kondisi alam yang mendukung. Pada awal pembuatannya Taman Tirtonadi menjadi bagian dari Partimah Park. Partimah Park adalah taman yang dibangun terlebih dahulu sebelum Taman Tirtonadi. Kedua taman ini pada masa kolonial dikenal dengan sebutan Partimah Park/Tirtonadi Complex. Nama Partimah Park sendiri diadopsi dari nama salah satu puterinya dan berfungsi sebagai taman rekreasi bagi anak-anak.
Sekitar tahun 1940an Taman Tirtonadi yang merupakan bagian dari Partimah Park mulai digunakan sebagai ruang publik untuk komunitas seni. Sekitar tahun 1960-an keberadaan seniman ini sudah mulai pudar meski masih tetap ada. Seni yang dipertontonkan adalah seni musik keroncong, yang saat itu sedang berada di puncak kepopularitasan. Diantara seniman tersohor kala itu adalah penyanyi keroncong yang dikepalai oleh Samsidi, “Irama Sera”, “Putra Remaja” dan lagu-lagu Gesang seperti Tirtonadi yang Permai masih sering dinyanyikan. Sedangkan untuk pertunjukan seni ketoprak tidak digelar di dalam Taman Tirtonadi, tetapi berada di luar taman, tepatnya di sebelah timur terminal yang lama. Ketoprak dilakukan di sebuah barak yang semi permanen. Kethoprak yang terkenal tahun itu adalah “Ngesti Widodo” dan “Sari Bedhoyo”.
Pasca kemerdekaan, kedua taman itu mulai kurang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan adanya peristiwa Gerakan Anti Swapraja yang berdampak pada pengalihan tanah-tanah milik Mangkunegaran dan Kasunanan kepada Pemerintah Kota Surakarta, masuknya paham kapitalis di Indonesia pada era ini menyebabkan berkurangnya lahan hijau dan digantikan dengan industrialisasi. Industrialisasi yang ada di sekitar Taman Tirtonadi mulai tampak ketika dibangunnya terminal Tirtonadi dan munculnya toko-toko. Hal ini berdampak pada penyempitan lokasi Taman Tirtonadi dan perluasan Jalan Raya. Jalan Raya pun yang awalnya hanya jalan setapak berubah menjadi jalan yang halus beraspal.
Memasuki tahun 1975, ditimur Taman Tirtonadi yang merupakan pemukiman penduduk dan sebuah lapangan, dijadikan terminal bus menggantikan Terminal bus menggantikan Terminal Bus Harjodaksino yang kondisinya sudah tidak memungkinkan dikembangkan lagi. Awalnya lahan yang digunakan terminal masih sebatas areal bekas pemukiman warga, ditambah lapangan. Sekitar 1986 areal terminal diperluas menjadi sekitar lima hektar. Salah satu lokasi perluasan adalah Taman Tirtonadi. Perluasan dilakukan dengan menutup sebuah kolam rekreasi yang menjadi hulu Sungai Kali Pepe yang membelah Kota Solo.
Taman Tirtonadi pada tahun 1988 mengalami kerusakan disebabkan kurangnya dana Pemerintah Daerah (Pemda) Kotamadya Surakarta dan tidak cukup untuk menghidupi taman-taman milik Mangkunegaran. Taman Tirtonadi terlihat kotor dan tidak terawat, mulai banyak pohon-pohonan yang ditebangi. keberadaan ruang publik itu malah semakin tenggelam. Perebutan ruang terjadi. Wilayah ini berkembang menjadi pusat aktivitas transportasi berupa terminal bus dan nama Tirtonadi diabadikan menjadi nama terminal. Keberadaan terminal membuat kondisi taman semakin tidak karuan dan kumuh. Adanya tempat pencucian mobil, tambal ban, dan orang jualan nisan menambahkan kesumpekan. 
Memasuki tahun 1990-an, kondisi Sungai Kali Anyar dan Pepe semakin dangkal. Adanya industialisasi pada tahun 1990-an ini memicu munculnya kaum urban dari wilayah –wilayah desa sekitar Surakarta dan wilayah luar Surakarta seperti Madiun, Magetan, Ngawi, dsb.Mereka berbondong-bondong datang untuk mencari penghidupan yang lebih layak dan salah satunya bertempat di sekitar taman dan Terminal Tirtonadi.
Memasuki Milenium 2000 angka PKL di Surakarta semakin melonjak dan Bantaran Sungai Pepe dan Kali Anyar yang awalnya dihiasi oleh Taman Tirtonadi berubah fungsi menjadi Taman Para PKL. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat hingga akhirnya para PKL ini mendirikan bangunan semi permanen untuk tempat tinggal. Perluasan Terminal Tirtonadi membuka peluang besar bagi mereka untuk bersikukuh tinggal di sepanjang bantaran.
Kawasan Taman Tirtonadi sebelum direvitalisasi adalah kawasan pemukiman tidak sah artinya itu bantaran yang dihuni secara ilegal kemudian dikembalikan fungsinya oleh pemkot sebagaimana fungsinya sebagai bantaran sungai yang memiliki fungsi kawasan penyangga banjir dan daerah resapan air. Sekitar tahun 2005 itu mulai menjamur rumah liar, tahun 2006 dibersihkan, 2007 dibangun. Ukuran luas Taman Tirtonadi pada tahun 2008 adalah sekitar 350 m². Biaya keseluruhan untuk pembangunan adalah 1,2 M. Pembangunan ini diharapkan akan memberi manfaat bagi masyarakat Solo khususnya dan pendatang umumnya.










DAFTAR PUSTAKA

A. Arsip
Overzichtkaart Tirtonadi Complex/Partimah Park, Koleksi Perpustakaan Rekso Pustoko No.A166
Jaya Baya, 29 Mei 1988, Taman Tirtonadi Kepriye Kabarmu?,(Surakarta: Perpustakaan Rekso Pustoko), No.3526
Suara Merdeka, 19 Maret 1983, Tirtonadi dan Minapadi Obyek Wisata yang Kian Merana, (Surakarta : Perpustakaan Rekso Pustoko). No.MN.243
B. Skripsi
Nina Astiningrum. 2002. “Kebijakan Mangkunegara VII dalam Pembangunan Perkotaan di Praja Mangkunegaran 1916-1944”. (Surakarta: FKIP UNS)
C. Sumber Online
D. Undang-undang
UU Sungai  No 7 tahun 2004










LAMPIRAN








DAFTAR INFORMAN

·        Narasumber 1
Nama: Sultan Najamudin
Waktu:  25 Juni 2013, (13.20.13.49 WIB)
Keterangan: Kasubid Pencemaran Badan Lingkungan Hidup (BLH)
·        Narasumber 2
Nama: Mulyono
Waktu: 27 Juni 2013, (11.04-11.15WIB)
Keterangan : Pedagang Mie Ayam Keliling Taman Tirtonadi
·        Narasumber 3
Nama:  Adi
Waktu: 27 Juni 2013, (11.52-12.00 WB)
Keterangan: Tukang Parkir Taman Tirtonadi
·        Narasumber 4
Nama : Jiman
Waktu: 27 Juni 2013, (12.00-12.10 WIB)
Keterangan: Tukang Becak Tirtonadi
·        Narasumber 5
Nama :  Harti
Waktu : 27 Juni 2013 (12.15-12.30 WIB)
Keterangan: Pedagang Kaki Lima Paguyuban Mugirahayu Terminal Tirtonadi
·        Narasumber 6
Nama: Agus
Waktu: 30 Juni 2013 (13.50-14.15)
Keterangan: Seniman Kethoprak Tirtonadi



[1] Nina Astiningrum.2002. “Kebijakan Mangkunegara VII dalam Pembangunan Perkotaan di Praja Mangkunegaran 1916-1944”. Skripsi FKIP UNS, Hlm.2

[2] Ibid, Hlm.2

[3] Jaya Baya, 1988. Taman Tirtonadi Kepriye Kabarmu?,(Surakarta: Perpustakaan Rekso Pustoko), No.3526
[4] Wawancara dengan  Bapak Agus, tanggal 30 Juni 2013
[5] Wawancara dengan Basuki,  28 Juni 2013
[6] Suara Merdeka.1983, Tirtonadi dan Minapadi Obyek Wisata yang Kian Merana, (Surakarta : Perpustakaan Rekso Pustoko). No.MN.243
[7] Ibid, Wawancara dengan Basuki
[8] Ibid, Suara Merdeka
[9] Op. Cit, Wawancara dengan Basuki
[10] Op. Cit, Suara Merdeka
[11] Op. Cit, Jaya Baya
[12] Op. Cit, Suara Merdeka
[13] Op. Cit, Wawancara dengan Basuki
[14] Op. Cit, Wawancara dengan Pak Agus
[15] Op. Cit, Jaya Baya
[16] Op. Cit, Suara Merdeka
[17] Op. Cit, Wawancara dengan Bapak Agus
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Op. Cit, Suara Merdeka
[21] http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/29/solo08.htm , diakses tanggal 28 Juni 2013 pukul  13.45
[22] Ibid

[23] Op. Cit, Jaya Baya
[24] Ibid
[25] Wawancara dengan Jiman, tanggal 27 Juni 2013
[26] Op. Cit, Suara Merdeka
[27] HMI, Kebijakan Publik Tata Kota, (online, http://www.scribd.com/doc/40217654/Hasil-Penelitian-HMI-Tentang-Kebijakan-Publik-Tata-Kota), diakses tanggal 12 Juni 2013 pukul 16.30, hlm. 8
[28] Wawancara denga Bapak Sultan, tanggal 25 Juni 2013
[29] Op. Cit, HMI, hlm. 2
[31] Op. Cit, HMI, hlm.30
[33] Ibid, Wawancara dengan Bapak Sultan
[34] Wawancara dengan Mulyono, tanggal 27 Juni 2013
[35] Ibid
[36] Ibid, Wawancara dengan Jiman
[37] Wawancara dengan Adi, tanggal 27 Juni 2013
[38] Wawancara dengan Harti, tanggal 27 Juni 2013
[39] Ibid
[40] UU Sungai No 7 tahun 2004