DINAMIKA PERKEMBANGAN TAMAN TIRTONADI
DI SURAKARTA TAHUN 1911-2008
A. Latar Belakang
Surakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Solo, merupakan sebuah kota budaya yang terkenal dengan keberadaan dua keraton besar
peninggalan Kerajaan Mataram yang masih ada hingga kini. Dua keraton ini
menjadi simbol bagi Solo sebagai salah satu kota penting yang memperkaya
khazanah kultural bangsa Indonesia. Keraton tersebut bernama keraton Kasunanan
dan Mangkunegaran. Kedua keraton ini mencapai kejayaannya pada masa Paku Buwono
XI untuk Kasunanan dan Mangkunegara VII untuk Mangkunegaran. Dimana keduanya
saling bersaing sehat dalam hal menyejahterakan rakyat, yakni dengan
memperbaiki dan membangun fasilitas umum untuk kota Solo.
Fasilitas umum yang dibangun oleh Mangkunegara
VII saat itu diantaranya dalam bidang ekonomi, transportasi, dan tempat
hiburan. Tempat hiburan menarik yang dibangun pada masa Mangkunegara VII salah
satunya adalah taman kota. Taman kota merupakan salah satu lahan yang sering
dipergunakan untuk mengatasi kebutuhan ruang hijau kota, karena taman kota
bukan sekedar ruang geometris tetapi juga ruang sosial.[1]
Konsep kota Surakarta sebagai “Solo Berseri” sebenarnya telah
muncul sejak masa pemerintahan Mangkunegara VII. Hal in ditandai dengan
pembangunan sarana umum antara lain: Taman Tirtonadi, Minapadi, Partimah
Park, Societeit Sasono Suko (SSS). Taman Tirtonadi yang dihadirkan oleh Mangkunegara VII
kala itu terletak di kampung Gondang Wetan
Kelurahan Manahan, Kecamatan Banjarsari dan berada di pinggir Kali Pepe dan
Kalianyar, sekaligus Taman Minapadi yang berada di seberang Taman
Tirtonadi[2].
Fungsi umum dari taman kota ini banyak sekali yaitu tempat bersantai dan
berolahraga, komunikasi sosial, fungsi ekologi meliputi penyegaran udara,
penyerapan air hujan, pencegahan banjir dan memelihara ekosistem tertentu.
Namun, pada perkembangannya keberadaan taman-taman kota sebagai ruang publik
tersebut mulai tak terawat dan beberapa telah berganti fungsi bahkan hilang dan
hanya bisa ditemukan dalam memori kolektif masyarakat.
Keraton
Mangkunegaran mencapai zaman keemasan ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh
Mangkunagara VII yang berkuasa pada tahun 1916-1944.
Bermodal setumpuk uang kas praja, Mangkunegara VII ingin mengubah daerah kekuasaannya menjadi indah dengan memakai konsep garden city
Negeri Kincir Angin Belanda.
Pada prinsipnya, garden city
merupakan konsep untuk mewujudkan suatu industri dengan kehidupan industri
sehat yang memungkinkan adanya kehidupan sosial yang sehat dan harmoni. Maka
Mangkunegara VII segera membuat beberapa taman kota, satu diantaranya adalah
Taman Tirtonadi yang indah pada awal abad XX dan mengalami kerusakan dan
revitalisasi pada perkembangannya.
Sehingga dari adanya latar belakang tersebut diatas memunculkan suatu
permasalahan yaitu bagaimanakah dinamika taman Tirtonadi sebagai taman kota
dari masa Mangkunegara VII tahun 1911 sampai revitalisasi oleh Pemerintah Kota
(Pemkot) tahun 2008 dan juga apakah penyebab dari adanya alih fungsi
taman-taman kota tersebut dari tahun 1911-2008. Dan semoga dengan adanya
penelitian ini dapat membantu menjawab pertanyaan tersebut di atas sekaligus
memberi wawasan kepada masyarakat luas tentang dinamika kondisi taman Tirtonadi
dari tahun 1911-2008.
B. Sejarah ‘Keemasan’ Taman
Tirtonadi (1911-1945)
Taman Tirtonadi yang berada di Gondang Wetan, Kel. Manahan, Kec. Banjarsari
Solo ini, merupakan peninggalan
Mangkunegara VII. Taman Tirtonadi pernah masyhur pada tahun 1941.[3] Taman
Tirtonadi ini sebenarnya sudah terjadi secara alami, dengan kata lain taman ini
sudah terbentuk karena kondisi alam yang mendukung tanpa harus bersusah payah
untuk membuatnya menjadi sebuah taman yang dipenuhi oleh pepohonan. Karena
taman ini pada awal abad XX adalah kawasan yang dipenuhi oleh pohon-pohon besar
yang rindang dan dihiasi oleh aliran Sungai Pepe yang luas dan indah.
Jalanannya pun masih setapak, hingga ketika pembuatannya Mangkunegara VII tidak
mengalami kesulitan hanya tinggal merenovasi sedikit dengan menambah
fasilitas-fasilitas taman seperti kolam kecil dan arena bermain.
Pada awal pembuatannya Taman Tirtonadi menjadi bagian dari Partimah Park.
Karena sebelum taman Tirtonadi yang berada di sebelah
barat kolam selesai dibangun, disebelah timur kolam lebih dulu telah diadakan
taman kanak-kanak yang bernama Partimah Park. Karena Partimah Park ini sangat luas maka Taman Tirtonadi dianggap menjadi bagiannya. Menurut
kesaksian saksi mata ketika penelitian ini, diperkirakan luasnya sampai ke
lokasi Terminal Tirtonadi yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.
Persisnya dari Taman yang sekarang sampai ke Barat di tempat orang berjualan
kijing.[4]
Kedua taman ini pada masa kolonial dikenal dengan sebutan Partimah
Park/Tirtonadi Complex. Nama Partimah Park sendiri diadopsi dari
nama salah satu puterinya.
Semua taman yang ada di Solo itu diambil dari nama anak-anaknya seperti Partini
Twin, Partinah Bosch, Partimah Park dan Kusuma Wardhani. Hal ini untuk
mengingatkan tujuan tertentu agar anaknya bisa jadi terkenal.[5]
Pembuatan Taman Tirtonadi sebetulnya merupakan tindak lanjut dari usaha
Mangkunegara VII bersama Belanda untuk mengatasi banjir tahunan yang seringkali
melanda Kota Solo. Sebelum dibangunnya tanggul
disebelah Utara dari kota Solo, di kali Pepe yang letaknya ditengah kota, pada
musim-musim hujan airnya selalu meluap hingga menimbulkan banjir. Oleh karena itu untuk mengatasinya maka
pada tahun 1903 digalinya banjir kanal yang menjurus ke bengawan solo. Proyek
kolosal tersebut dikerjakan oleh tenaga manusia baru dapat diselesaikan pada
tahun 1911. [6]
Dan bersamaan dengan
selesainya pembangunan tanggul dari utara Balaikambang dan dari sebelah timur
sampai ke daerah kandang sapi, dimanfaatkanlah air Kali
Pepe yang mengalir melalui pintu air Kali Anyar dan sekaligus untuk memoles
pemandangan, dibuatlah kolam kecil dan dihiasi bunga teratai. Kemudian kolam
itu diberi nama Tirtonadi. Tujuan Mangkunegara tujuh ini
memberi hiburan untuk rakyat,
disamping Balaikambang juga Tirtonadi. [7]
Selama pembangunan tanggul tersebut
secara kebetulan bersamaan dengan terjangkitnya wabah lepra di Solo hingga sangat
menakutkan penduduk. Adanya pintu air dari banjir kanal untuk mengatur
mengalirnya air Kali Progo menyebabkan kota Solo terhindar dari banjir yang datangnya
dari arah Utara. Kali Pepe baru meluap jika pintu air yang menghubungkan
dengan bengawan solo ditutup untuk menghindari masuknya banjir dari bengawan, dengan demikian maka penduduk yang ada
dibagian utara cukup merasa aman. [8]
Dulu Sungai Pepe yang merupakan bagian dari Taman Tirtonadi juga digunakan
sebagai sarana
transportasi. Hal ini dikarena dulu
sugai besar dan pada perkembangannya
terjadi penyempitan dan semakin dangkal. Di sekitar sungai dan taman itu dulu
banyak pohon besar yang menjadikan
suasana sejuk, adem, hati tenang.[9]
Pembuatan Taman
Tirtonadi ini hampir bersamaan dengan dibukanya lalu lintas menjelang pecahnya
perang Pacific yang pada waktu itu terkenal sebagai snel-verkeer ialah
jarak antara daerah kampung Teposanan dengan melalui Balekambang sampai di daerah
Kleco.[10]
Tak lama kemudian, Setelah menyelesaikan pembangunan taman rekreasi
disebelah selatan banjir kanal (Taman Tirtonadi), dibangun sebuah telaga kecil
untuk mengail ikan dan olahraga sampan. Sesuai dengan keadaannya maka telaga
bekas sawah yang ditaburi dengan bibit ikan diberi nama Mina padi. Untuk menambah indahnya pemandangan, dibuat kreteg kecil yang lebarnya kira-kira satu meter yang
menyambung kepada obyek wisata Taman Minapadi, telaga buatan untuk perahu
tersebut.[11]
Dibangunnya jembatan penghubung antara Tirtonadi dan
Minapadi ini dinamakan “kreteg senggol”, lantaran jaraknya sempit sehingga orang yang
berpapasan pasti bersenggolan.
Kondisi taman saat
itu setiap sore anak-anak kecil dengan ramainya bermain di taman dengan naik ombak
banyu, timbangan dan gandulan. Orang solo terkenal suka begadang pada malam hari, maka taman tirtonadi
yang sore harinya menjadi taman rekreasi untuk anak-anak kecil dan remaja malam
harinya penuh dengan orang dewasa.[12]
Adanya taman tirtonadi membuat daerah
disekitarnya menjadi ramai dan indah serta rakyat disekitarnya juga bisa
mendapat penghasilan dari berjualan didalam taman tersebut. Pada waktu-waktu
tertentu Mangkunegara VII secara incognito meninjau taman tirtonadi
selain untuk menghirup hawa segar juga untuk menyaksikan secara langsung
suasana dan segala sesuatunya guna menentukan sarana yang sesuai untuk kemajuan
taman.
B. Taman Komunitas Seniman
Dulu oleh Mangkunegara VII, taman didesain sebagian
digunakan untuk kebun dan sebagian untuk taman hiburan, juga terdapat kolam kecil. Kolam itu
tidak hanya kolam untuk hiburan saja namun sifatnya dwifungsi. Kolam selain
sebagai untuk tempat bermain seperti ada perahu-perahu kecil juga sebagai
tempat penampungan air dari sungai yang meluap.[13]
Di kolam tadi terdapat beberapa
patung kodok dan batu lintang, sehingga banyak anak-anak
yang mandi di sana.
Konon, batu tersebut sangat terkenal sekali.
Bentuknya yang sangat besar dan memancarkan cahaya berwarna-warni terlihat
sangat indah. Adanya batu lintang ini menjadi bahan perbincangan dari mulut ke
mulut. Karena pada saat itu sesuatu yang gemerlap menjadi suatu yang “wah” bagi
masyarakat kecil. Mereka melihatnya sebagai budaya yang baru dan adanya batu
lintang ini menyedot perhatian anak-anak kecil untuk bermain di Taman Tirtonadi
ketika itu.[14]
Seiring berjalannya waktu, kondisi Kompleks Taman Tirtonadi/Partimah
Park berubah dari segi luas taman dan kondisi sungainya. Sekitar tahun
1940-1960an Taman Tirtonadi yang merupakan bagian dari Partimah Park mulai
digunakan sebagai ruang publik untuk komunitas seniman. Seringkali digelar
pertunjukan seni.
Pada tahun 1940-an taman ini digunakan untuk
tujuan pentas-pentas kethoprak dan acara kesenian lainnya, meskipun hanya
diadakan di panggung. Tahun 1942 juga diramaikan oleh tontonan “Ni Dhok-Ni
Dhiwut”, yang diadakan oleh kenya-kenya kampung kanan-kirinya.[15] Taman Tirtonadi memang dibangun sebagai lokasi kegiatan
budaya masyarakat yang ramai menjadi tempat para seniman dan
budayawan mengapresiasikan cipta, rasa, dan karsanya. Bahkan karena keindahan
taman tersebut, tahun 1941 Gesang tergugah inspirasinya untuk menciptakan lagu
langgam “Tirtonadi” yang pertama kalinya dimainkan oleh orkes “Bunga Mawar”
pimpinan almarhum RBY. Suprono
Dan secara kebetulan
adanya kedua tempat rekreasi tersebut menimbulkan inspirasi terciptanya lagu
Tirtonadi dan Minapadi. Berkumandangannya lagu Tirtonadi dan Minapadi ternyata
dapat mempercepat terkenalnya kedua tempat hiburan tersebut yang tidak hanya
tenar didalam negeri saja bahkan sampai ke negeri Jepang dan dijadikan sarana
untuk mendapatkan pengaruh dari rakyat Indonesia.
Pada permulaan perang pasifik yang didengungkan sebagai perang Asia Timur
Raya sebelum Jepang dapat menduduki Indonesia dalam salah satu usahanya menarik
partisipasi rakyat Indonesia, radio Tokyo hampir tiap malam menyiarkan kedua
lagu tersebut sesudah menggelorakan lagu kebangsaan Indonesia raya kemudian
disusul dengan warta berita dan propaganda lainnya. Selama pendudukan Jepang di
Indonesia, Tirtonadi dan Minapadi sempat mendapat pemeliharaan
dan kunjungan oleh para pesiar tapi ketika bangsa Indonesia mendapat perjuangan
fisik dalam mempertahankan kemerdekaan kedua tempat tersebut tidak mendapat
perhatian.[16]
Sekitar tahun
1960-an, pertunjukan yang dilakukan para seniman ini hanya dilakukan setiap
hari Minggu. Seni yang dipertontonkan adalah seni musik keroncong, yang saat
itu sedang berada di puncak kepopularitasan. Diantara seniman tersohor kala itu
adalah penyanyi keroncong yang dikepalai oleh Samsidi, “Irama Sera”, “Putra
Remaja” dan lagu-lagu Gesang seperti Tirtonadi yang Permai masih sering
dinyanyikan. Dan seringkali pertunjukan musik tersebut diiringi oleh gamelan.[17]
Sedangkan untuk
pertunjukan seni ketoprak tidak digelar di dalam Taman Tirtonadi, tetapi berada
di luar taman, tepatnya di sebelah timur terminal yang lama. Ketoprak dilakukan
di sebuah barak yang semi permanen. Barak ini bukan bangunan dari cor-coran
tapi tobong. Kethoprak yang terkenal tahun itu adalah “Ngesti Widodo”
dan “Sari Bedhoyo”. Untuk pemain kethoprak dan seniman keroncong ini bukanlah
seniman yang tetap, tapi mereka tampil secara bergiliran. Mereka sering tampil
dari satu tempat ke tempat lain. Hanya saja Taman Tirtonadi tahun 1940-1960an taman
ini menjadi salah satu tempat berkumpulnya para seniman di kala senggang, meski
mulai tahun 1960an eksistensi Taman Tirtonadi sebagai tempat berkumpulnya seniman
sudah mulai pudar.[18]
Tempat kethoprak
biasa manggung ini pada tahun 1970-an di beli oleh Almarhum Teguh Srimulat
dengan harga yang masih relatif murah jika dihitung dengan standard mata uang
rupiah saat ini, yaitu seharga Rp. 90.000,-. Dan pada perkembangannya tempat
itu dijual kembali.[19]
C. Pasca Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan, kedua taman itu mulai kurang mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan adanya peristiwa Gerakan Anti Swapraja yang berdampak
pada pengalihan tanah-tanah milik Mangkunegaran dan Kasunanan kepada Pemerintah
Kota Surakarta, termasuk di dalamnya adalah Taman Tirtonadi. Kompleks Taman
Tirtonadi yang awalnya sangat luas, ketika berada di tangan Pemkot luas lahan
taman tirtonadi menjadi semakin sempit dan berubah fungsinya sesuai dengan
kebijakan Walikota yang sedang menjabat.
Kondisi taman ini sekitar akhir tahun 1960, tepatnya masa orde baru mulai
tidak terawat namun setiap sore, taman ini masih dipenuhi anak-anak kecil dan pelajar yang
bermain. Sementara muda-mudi memadu kasih di taman pada malam hari dengan
menikmati keindahan bulan dan suara jangkrik. Penduduk sekitar pun dapat mengais rezeki
dengan berjualan bermacam-macam makanan dan minuman di dalam taman. Interaksi
sosial terjadi dan kapital sosial mulai tumbuh. Dampaknya, hubungan sosial dan
kerukunan masyarakat terjaga.
Namun, masuknya paham kapitalis di
Indonesia pada era ini menyebabkan berkurangnya lahan hijau dan digantikan
dengan industrialisasi. Industrialisasi yang ada di sekitar Taman Tirtonadi
mulai tampak ketika dibangunnya terminal Tirtonadi dan munculnya toko-toko. Hal
ini berdampak pada penyempitan lokasi Taman Tirtonadi dan perluasan Jalan Raya.
Jalan Raya pun yang awalnya hanya jalan setapak berubah menjadi jalan yang
halus beraspal.
Adanya pelebaran jalan pada masa awal orde baru ini menghilangkan
pohon-pohon yang ada di sekitar taman. Munculnya bis dan truck besar telah
menghilangkan suasana intim untuk tempat berkumpul di taman. Penebangan pohon
juga menciptakan suasana yang semakin gersang dan panas.
Akan tetapi, Pada
masa Walikota R. Koesnandar (1968-1975), sewaktu pemeliharaan taman termasuk
dalam tugas seksi jalan-jalan dari dinas pekerjaan umum kota Surakarta, Taman
Tirtonadi sempat diperbaiki kembali dengan sangat baik. DAM dan pintu air diperbaiki agar dapat
berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Air kolam selalu penuh dan dijaga kebersihannya
serta dihias dengan bunga teratai. Di jalan tembusan yang berdekatan dengan
Tirtonadi pinggir-pinggirnya ditamani bunga-bungaan hingga menambah indahnya
pemandangan. Setelah menteri Ir.Sutami menyaksikan bahwa kreteg senggol yang
menghubungkan Tirtonadi dan Minapadi dalam keadaan rusak untuk mengembalikan
romantisnya citra kedua tempat hiburan maka beliau membangunkan jembatan baru
sebagai gantinya ‘kreteg senggol’.[20]
D. Taman vs Terminal
Tirtonadi
Memasuki tahun 1975, ditimur Taman Tirtonadi yang merupakan pemukiman penduduk
dan sebuah lapangan, dijadikan terminal bus menggantikan Terminal bus
menggantikan Terminal Bus Harjodaksino yang kondisinya sudah tidak memungkinkan
dikembangkan lagi. Pilihan lahan ditempat itu memang awalnya karena cukup
strategis. Berada di kawasan pinggiran kota (Solo dibagian utara) dan
dekat pinggir jalan antarprovinsi yang menjadi jalur kelas satu
arus lalu lintas angkutan berat, sehingga berkembang pesat.
Terminal itu menjadi pusat angkutan penumpang dari berbagai kota
dan provinsi keberadaannya juga mengilhami seniman Ranto Edi Gudel untuk menciptakan lagu”Terminal Tirtonadi”
yang dinyanyikan oleh Didi Kempot. Seiring dengan
berkembangnya terminal, lingkungannya juga berkembang. Berbagai usaha yang
mendukung aktivitas terminal seperti penitipan kendaraan, penginapan,
rumah makan dan juga pekerja seks, kian merebak. Akibatnya kawasan terminal itu
tidak seindah namanya seperti dalam untaian syair lagu “Taman Tirtonadi”
Awalnya lahan yang digunakan terminal masih sebatas areal bekas
pemukiman warga, ditambah lapangan. Sekitar 1986 areal terminal diperluas
menjadi sekitar lima hektar. Salah satu
lokasi perluasan adalah Taman Tirtonadi . namun, saat ini belum semua taman
digunakan untuk terminal. Perluasan
dilakukan dengan menutup sebuah kolam rekreasi yang menjadi hulu Sungai Kali
Pepe yang membelah Kota Solo. Sisa taman itu kini semakin kumuh, karena
digerayangi warga untuk usaha warung makan dan kios, juga kerajinan batu nisan.[21]
Sejak awal memang sudah
dirancang terminal untuk kelas A yang lahannya minimal lima hektar. Sebenarnya kalau sekedar memenuhi luas tersebut. Sisa tanah di
Taman Tirtonadi sudah bisa
dimanfaatkan. Namun, perkiraan ketika itu dalam
perkembangan 10-15 tahun mendatang bias jadi lahan itu pun sudah tidak
mencukupi. Sehingga, beberapa pejabat dan tokoh masyarakat menganggap perlu
relokasi untuk mengurai masalah diterminal itu, termasuk arus lalu lintas
dijalan sekitarnya. [22]
Dan sekitar tahun 1988 Minapadi sebelah utara Taman Tirtonadi yang indah
menjadi kampung dan kreteg senggol kerap kali terkena banjir. Bahkan parahnya
lagi di kanan kirinya taman, dipenuhi warung-warung “remang-remang” papan
operasinya WTS. Blumbang di depannya tinggal terlihat lumpurnya, sebab
airnya seringkali kering. Dan Taman Tirtonadi ini masuk “daerah rawan”, jadi
papan operasinya “penjahat bajing loncat” yang sering mengganggu truck-truck
jurusan Surabaya-Jakarta dan jadi sarangnya para penodong yang memancing
korbannya.[23]
Kurangnya perawatan terhadap taman tirtonadi pada tahun 1988 disebabkan kurangnya dana Pemerintah Daerah
(Pemda) Kotamadya Surakarta dan tidak cukup untuk menghidupi taman-taman milik
Mangkunegaran. Karena Kantor Dinas Pariwisata Kodya Surakarta diberi anggaran
Rp 350 juta tiap tahunnya, penghasilannya Rp. 190 juta, sehingga pemerintah
perlu melakukan kerjasama dengan investor, namun hal tersebut juga tidak mudah.[24]
Pada tahun 1988 Taman Tirtonadi
mengalami kerusakan yang cukup parah. Terlihat kotor dan tidak terawat, mulai
banyak pohon-pohonan yang ditebangi. keberadaan ruang publik itu malah semakin
tenggelam. Perebutan ruang terjadi. Wilayah ini berkembang menjadi pusat
aktivitas transportasi berupa terminal bus dan nama Tirtonadi diabadikan
menjadi nama terminal. Keberadaan terminal membuat kondisi taman semakin tidak karuan dan kumuh.
Adanya tempat pencucian mobil, tambal ban, dan orang jualan nisan menambahkan kesumpekan.
Memasuki tahun 1990-an, kondisi Sungai Kali Anyar dan Pepe semakin dangkal.
Taman sudah tak terawat, yang terlihat hanya tanggul yang membentang sepanjang
bantaran sungai dan rimbunan pohon liar. Adanya industialisasi pada tahun
1990-an ini memicu munculnya kaum urban dari wilayah –wilayah desa sekitar
Surakarta dan wilayah luar Surakarta seperti Madiun, Magetan, Ngawi, dsb.Mereka
berbondong-bondong datang untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Sebagian
dari mereka beralasan karena ingin mencari pengalaman dan meraskan kehidupan di
kota.
Tahun 1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia kaum urban ini
merasakan sulitnya mencari lapangan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari. Jika pada masa sebelum terjadi krisis ekonomi seorang tukang becak
mendapatkan upah sehari bisa untuk makan 3 hari, sedangkan pada masa krisis
ekonomi upah sehari untuk makan sehari terkadang masih kurang.[25]
Memasuki Milenium
2000 angka PKL di Surakarta semakin melonjak dan Bantaran Sungai Pepe dan Kali
Anyar yang awalnya dihiasi oleh Taman Tirtonadi berubah fungsi menjadi Taman
Para PKL. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat hingga akhirnya para
PKL ini mendirikan bangunan semi permanen untuk tempat tinggal. Perluasan
Terminal Tirtonadi membuka peluang besar bagi mereka untuk bersikukuh tinggal
di sepanjang bantaran.
Minapadi dan Tirtonadi sekarang ini kurang mendapat
perawatan. Ditaman yang indah dan letak tanamannya teratur, sekarang terlihat
adanya mobil-mobil yang dicuci dan tambal ban. disebelah barat taman dipinggir jalan raya yang semula dihias
dengan tanaman bunga kini terdapat penjual-penjual kijing. Jika dahulu
pengendara mobil datang, untuk menikmati pemandangan, maka kedatangannya
sekarang untuk mencuci mobil dan menambal ban atau membeli kijing. Mengenai
nasib kedua objek tersebut pada tahun 1960an bernasib menyedihkan . [26]
E. Revitalisasi Taman Tirtonadi
Taman Tirtonadi jika dilihat dari segi lokasi, sangatlah strategis
karena berada di depan terminal Tirtonadi dan berada di bantaran kali Pepe dan Kali
Anyar. Jalan Raya depan taman juga merupakan jalur kendaraan besar menuju arah
Solo- Semarang. Sehingga, harusnya taman ini berfungsi secara optimal. Hanya saja
pengelolaannya yang belum maksimal baik dari pemkot ataupun masyarakat itu
sendiri.
Menurut Whyte dalam Carmona (2003) ruang publik yang bisa berfungsi
optimal untuk kegiatan publik bagi komunitasnya, biasanya mempunyai ciri-ciri
antara lain : merupakan lokasi yang strategis (sibuk), mempunyai akses yang
bagus secara visual dan fisik, ruang yang merupakan bagian dari suatu jalan
(jalur sirkulasi), mempunyai tempat untuk duduk – duduk antara lain berupa
anak-anak tangga, dinding atau pagar rendah, kursi dan bangku taman, ruang yang
memungkinkan penggunanya dalam melakukan aktifitas komunikasi bisa berpindah –
pindah tempat / posisi sesuai dengan karakter dan suasana yang diinginkan.[27]
Kawasan Taman Tirtonadi sebelum direvitalisasi
adalah kawasan pemukiman tidak sah artinya itu bantaran yang dihuni secara
ilegal kemudian dikembalikan fungsinya oleh pemkot sebagaimana fungsinya
sebagai bantaran sungai yang memiliki fungsi kawasan penyangga banjir, daerah
resapan air, dan sebagai dinda yang membentang sampai sana. Sekitar tahun 2005 itu mulai menjamur rumah liar, tahun 2006
dibersihkan, 2007 dibangun, 2008 diresmikan. Ukuran luas Taman Tirtonadi pada tahun 2008 adalah sekitar 350 m². Biaya
keseluruhan untuk pembangunan adalah 1,2 M.[28]
Pembangunan ini diharapkan akan memberi manfaat bagi masyarakat Solo khususnya
dan pendatang umumnya.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 60b, UU. Penataan Ruang bahwa
masyarakat berhak untuk memperoleh dan menikmati pertambahan nilai ruang
sebagai akibat penataan ruang. Sehingga jangan sampai penataan ruang seperti
halnya pembangunan publik space taman kota di Solo tidak memberikan
kemanfaatan bagi masyarakat Solo.[29]
Selain itu juga untuk menumbuhkan pencritaan sebuah kota Solo sebagai kota tujuan yang menyenangkan
ingin dimunculkan karena letaknya adalah didepan terminal Tirtonadi. Keberadaan
taman ini seolah mengukuhkan kota ini sebagai kawasan yang peduli dengan
lingkungan hidup disaat hunian liar tengah menjamur. Karena maraknya hunian
liar, pembangunan taman itu juga untuk mengembalikan ekosistem alam sebagaimana
mestinya, yakni kawasan hijau.[30]
Sayangnya, niat baik
pemerintah kota kurang mendapat dukungan dari masyarakat yang datang ke Taman
Tirtonadi tersebut. Pasca revitalisasi, dalam jangka waktu yang singkat terjadi
beberapa kerusakan pada taman serta fasilitasnya. Misalnya saja bangunan taman
retak-retak, lampu disepanjang taman bagian pinggir sungai hilang dan tidak
berfungsi, pepohonan bagian bawah mati, tempat sampah rusak dan hilang, corat-coretan
di dinding tembok, taman air mancur yang tidak berfungsi, sampah dan genangan
air dilantai. Taman Bagunan retak meliputi: tangga batu dan dinding batu
kemudian dinding batu yang copot. Tidak diketahui lampu tidak ada sejak kapan,
tempat sampah seharusnya ada tutup dari besi namun ada yang hilang bahkan ada
tempat sampah yang hilang dari tempatnya.[31]
Kondisi taman yang kurang terawat dan terjaga akan berimbas kepada
manfaat yang diperoleh masyarakat dari keberadaan taman kota itu sendiri. Sehingga,
menghilangkan fungsi taman yang seharusnya. Estetika atau keindahan, kenyamanan
taman kota berkurang. Hal ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk berkunjung
ke taman tersebut.
Semua bantaran
sungai itu adalah tanah negara. Konsep sungai itu sampai 20 meter adalah
bantaran sempa dan sungai itu tidak boleh dihuni, bantaran sungai itu tidak ada
yang punya. Sehingga, segala sesuatu yang mengganggu wilayah sekitar bantaran
termasuk rumah liar akan digusur. Ketika tahun 2006 walikota yang menjabat
adalah Joko Widodo dan
konsepnya Jokowi itu bagaimana menata supaya rapi lahan bantaran tersebut. Mereka diberi biaya pembongkaran dan transportasi. Mereka yang
mau pulang akan diantar selama masih di kawasan Wonosubo Sraten. Pihak yang mengurusi masalah pembongkaran itu adalah satpol bekerjasama denga kantor PKA.
Sebenarnya konsep itu mengarah kepada Water
Front City yaitu konsep taman kota yang berbatasan langsung dengan perairan
dalam hal ini sungai yang termasuk sebagai daya tarik pengunjung.ini merupakan
salah satu upaya penataan kawasan bantaran sungai. Taman Tirtonadi adalah salah
satu dari usaha pengembangan tersebut.[32]
Sebetulnya bisa dijadikan taman bermain hanya
memang konsep tamannya terlalu maju untuk kebutuhan Surakarta waktu itu. Sehingga biaya pemeliharaan dan kesiapan masyarakat tidak siap
untuk itu. Sehinggan alat-alatnya banyak yang dicuri dan dirusak
lampu-lampunya. Lampu taman itu mahal-mahal semua. Konsep taman ini meniru
konsep taman di Seoul. Konsep
awal memang seperti itu tapi akhirnya tidak
dapat berjalan karena persoalannya pada biaya. Biaya pemeliharaannya tidak
ad, sekedar masyarakat diminta untuk memelihara dan memanfaatkan taman itu.[33]
Dalam revitalisasi taman Tirtonadi ini Badan
Lingkungan Hidup lah yang membangun, karena saat itu BLH yang punya uang, yaitu
dari dana DAK (Dana Alokasi Khusus)sekitar 1,5 M. Kemudian pada saat itu Jokowi
tidak mau ruang itu terbuka terlalu lama karena nanti akan dihunui Dan
pembangunan itu masuk wilayah konservasi lahan. BLH melakukan konservasi
sebagai daerah penyangga banjir dan resapan air.
Sebelum Taman Tirtonadi mengalami revitalisasi
pada tahun 2007, kondisi nya sangat kumuh. Bantaran sungai yang dulunya adalah
tanggul untuk menangkal banjir berubah fungsi menjadi lahan-lahan yang digunakan
sebagai tempat tinggal, warung-warung, Ruko-ruko untuk tata usaha, tempat pangkalan becak, PKL hingga tempat
berkumpulnya para copet dan preman. Keadaan sekitar sungai menjadi semrawut dan
mengganggu arus lalu lintas. Apalagi di depan Taman Tirtonadi adalah sebuah
terminal bus. Lalu lalang kendaraan dari mulai bus, mobil, hingga becak tak
pernah surut.
Menurut pengakuan salah seorang pedagang kaki
lima, warung-warung liar itu mendapatkan izin dr walikota yang dulu, pak slamet. Dengan syarat membayar pajak dan
iuran tiap bulanan. Kondisi pasca revitalisasi dianggap praktis dan jalanan menjadi lancar. Akan tetapi, untuk
lokasi usaha rakyat kecil kurang menjamin. Karena pasca revitalisasi PKL
dilarang berdagang di pinggir Taman Tirtonadi. Jika Satpol PP sedang beroperasi
para PKL akan diusir. Kondisi orde baru dianggap lebih enak bagi para PKL
karena lapangan kerja masih bebas dan
tidak ada larangan berdagang. [34]
Namun demikian adanya PKL yang terus meningkat tiap tahunnya membuat pemerintah
bertindak untuk menekan angka PKL, meski tidak menjanjikan lapangan kerja yang
nyata.
Sebelah timur Terminal Tirtonadi yang awalnya
masih menjadi bagian dari Taman Tirtonadi sempat menjadi tempat seniman kethoprak menggelar pertunjukan. Mereka bermain
di sebuah ruangan
yang semi permanen. Antusias penonton tidak kalah dengan pementasan ketoprak yang
berada di gedung mewah.[35]
Kemudian sekitar tahun 1990an bangunan permanen tersebut beralih fungsi menjadi
pom bensin dan kemudian saat revitalisasi taman Tirtonadi ini, pom bensin
dibongkar dan dibuatlah taman kecil berhiaskan patung ular sebagai “pemanis
jalan”.[36]
Pasca revitalisasi tahun 2007-2008, pemkot
membuat aturan yang lebih ketat untuk Taman Tirtonadi agar kondisi taman lebih
teratur. Misalnya saja dengan adanya tempat parkir motor dan mobil bagi
pengunjung dengan tarif Rp. 500,- kala itu dan tukang parkir diwajibkan
membayar pajak langsung ke UPTD.[37]Sudah
sejak awal didirikan Terminal Tirtonadi, sudah terdapat beberapa lokasi
pangkalan becak. Hanya saja tempatnya masih tidak karuan. Sejak revitalisasi
taman, tempat pangkalan becak mayoritas berada di depan tempat parkir kendaraan
Taman Tirtonadi.
Sedangkan warung-warung yang berdiri di depan
dan samping terminal Tirtonadi dan tepat berada di depan Taman Tirtonadi adalah
warung milik perorangan. Lokasi sebelum didirikan warung-warung pribadi ini
adalah sebuah parkiran milik orang China dan barulah mulai berdiri
warung-warung kecil yang rata-rata milik kaum urban baik wilayah sekitar Solo
ataupun luar kota Solo. Sehingga, para pemilik warung ini hanya membeli hak
bangunan saja. Pada masa pemerintahan Jokowi, warung-warung ini dirapikan dan
mendapat status resmi dan PKL ini dinamakan PKL Mugirahayu.[38]
Sebelum adanya revitalisasi Taman Tirtonadi
ini, menurut pengamatan warga sekita kriminalitas sangat tinggi. Banyak
berkeliaran para copet dan preman. Copet tidak mudah ketahuan karena memang
mereka memiliki komunitas sendiri dan melarikan diri ke warung-warung di
bantaran sungai tersebut. Copet yang sudah masuk ke dalam warung rata-rata akan
merasa aman karena aparat akan sulit melacaknya, mereka sudah berbaur dengan
pembeli warung tersebut. Kondisi copet yang seperti itu bukan lagi menjadi
rahasia umum bagi penjual warung dan warga penghuni bantaran Kali Anyar tersebut,
tetapi uniknya para pemilik warung hanya diam saja tanpa mau tahu apa yang
telah dilakukan copet. Karena mereka merasa terancam jika berani membongkar
rahasia tersebut. Mereka berprinsip “urusan masing-masing”. Sehigga keadaan
Bantaran Sungai ini sebelum revitalisasi sangat ramai terlebih ketika malam
hari karena banyak yang mangkal di warung-warung, untuk kegiatan sekedar ngopi
dan ngobrol sampai permainan dadu, capjikia, rolet pakai koin sampai “karaoke
plus-plus”. Maka, seringkali disebut sebagai “Lembah Hitam”. Hal ini berbeda
dengan keadaan setelah di bangun kembali Taman Tirtonadi, kondisi pada saat
malam hari menjadi tidak seramai dulu, dan menjadi lebih aman karena hal-hal
tersebut sudah diberantas walaupun ada yang masih ngumpet-ngumpet.[39]
Adanya revitalisasi ini juga berpengaruh
terhadap kondisi sungai pepe dan kali anyar. Pada tahun 2007, masa pemerintahan
Joko Widodo, karena sungai mengalami pendangkalan maka dilakukan pengkedukan kembali.
Adanya revitalisasi ini tidak terlepas dari keinginan pemerintah kota solo
untuk merealisasikan branding Solo, “kota dalam kebun” dan juga mengingat adanya undang-undang yang
megatur Sungai untuk menjaga dari kerusakan. Diantaranya adalah UU Sungai pasal
21, yang berisi sebagai berikut:
Pasal 21:
1. Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk
melindungi dan melestarikan
sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan
atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan
dan yang disebabkan oleh tindakan manusia.
2. Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) dilakukan melalui:
(1) dilakukan melalui:
a.
pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
b.
pengendalian pemanfaatan sumber air;
c. pengisian
air pada sumber air;
d.
pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
e.
perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiata,
f.pembangunan dan
pemanfaatan lahan pada sumber air;
g. pengendalian
pengolahan tanah di daerah hulu;g. pengaturan daerah sempadan sumber air;
h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/ataui.
pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
3. Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan.
4. Perlindungan dan pelestarian sumber air dilaksanakan secara
vegetative dan/atau sipil
teknis melalui pendekatan sosial, ekonomi, dan budaya.
5. Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sumber air
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[40]
dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.[40]
F. Kesimpulan
Taman Tirtonadi yang berada di Gondang Wetan, Kel. Manahan, Kec. Banjarsari
Solo ini, merupakan peninggalan
Mangkunegara VII tahun 1911. Taman Tirtonadi ini
sebenarnya sudah terjadi secara alami, dengan kata lain taman ini sudah
terbentuk karena kondisi alam yang mendukung. Pada awal pembuatannya Taman Tirtonadi menjadi bagian dari Partimah Park. Partimah Park adalah taman
yang dibangun terlebih dahulu sebelum Taman Tirtonadi. Kedua taman ini pada masa
kolonial dikenal dengan sebutan Partimah Park/Tirtonadi Complex. Nama Partimah
Park sendiri diadopsi dari nama salah satu puterinya dan berfungsi sebagai
taman rekreasi bagi anak-anak.
Sekitar tahun
1940an Taman Tirtonadi yang merupakan bagian dari Partimah
Park mulai digunakan sebagai ruang publik untuk komunitas seni. Sekitar tahun 1960-an
keberadaan seniman ini sudah mulai pudar meski masih tetap ada. Seni yang
dipertontonkan adalah seni musik keroncong, yang saat itu sedang berada di
puncak kepopularitasan. Diantara seniman tersohor kala itu adalah penyanyi
keroncong yang dikepalai oleh Samsidi, “Irama Sera”, “Putra Remaja” dan
lagu-lagu Gesang seperti Tirtonadi yang Permai masih sering dinyanyikan.
Sedangkan untuk pertunjukan seni ketoprak tidak digelar di dalam Taman
Tirtonadi, tetapi berada di luar taman, tepatnya di sebelah timur terminal yang
lama. Ketoprak dilakukan di sebuah barak yang semi permanen. Kethoprak yang terkenal tahun itu
adalah “Ngesti Widodo” dan “Sari Bedhoyo”.
Pasca kemerdekaan, kedua taman itu mulai kurang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan adanya peristiwa Gerakan Anti Swapraja yang berdampak
pada pengalihan tanah-tanah milik Mangkunegaran dan Kasunanan kepada Pemerintah
Kota Surakarta, masuknya paham kapitalis di Indonesia pada era ini menyebabkan
berkurangnya lahan hijau dan digantikan dengan industrialisasi. Industrialisasi
yang ada di sekitar Taman Tirtonadi mulai tampak ketika dibangunnya terminal
Tirtonadi dan munculnya toko-toko. Hal ini berdampak pada penyempitan lokasi
Taman Tirtonadi dan perluasan Jalan Raya. Jalan Raya pun yang awalnya hanya
jalan setapak berubah menjadi jalan yang halus beraspal.
Memasuki tahun 1975, ditimur Taman Tirtonadi yang merupakan pemukiman penduduk
dan sebuah lapangan, dijadikan terminal bus menggantikan Terminal bus
menggantikan Terminal Bus Harjodaksino yang kondisinya sudah tidak memungkinkan
dikembangkan lagi. Awalnya lahan
yang digunakan terminal masih sebatas areal bekas pemukiman warga, ditambah
lapangan. Sekitar 1986 areal terminal diperluas menjadi sekitar lima hektar. Salah satu lokasi perluasan adalah Taman Tirtonadi. Perluasan
dilakukan dengan menutup sebuah kolam rekreasi yang menjadi hulu Sungai Kali
Pepe yang membelah Kota Solo.
Taman Tirtonadi pada tahun 1988 mengalami kerusakan disebabkan kurangnya dana Pemerintah Daerah (Pemda) Kotamadya Surakarta
dan tidak cukup untuk menghidupi taman-taman milik Mangkunegaran. Taman Tirtonadi terlihat kotor dan tidak
terawat, mulai banyak pohon-pohonan yang ditebangi. keberadaan
ruang publik itu malah semakin tenggelam. Perebutan ruang terjadi. Wilayah ini
berkembang menjadi pusat aktivitas transportasi berupa terminal bus dan nama
Tirtonadi diabadikan menjadi nama terminal. Keberadaan terminal membuat kondisi taman
semakin tidak karuan dan kumuh. Adanya tempat pencucian mobil, tambal ban, dan orang jualan nisan menambahkan kesumpekan.
Memasuki tahun 1990-an, kondisi Sungai Kali Anyar dan Pepe semakin dangkal. Adanya industialisasi pada tahun 1990-an ini memicu munculnya kaum urban
dari wilayah –wilayah desa sekitar Surakarta dan wilayah luar Surakarta seperti
Madiun, Magetan, Ngawi, dsb.Mereka berbondong-bondong datang untuk mencari penghidupan
yang lebih layak dan salah satunya bertempat di sekitar taman dan Terminal Tirtonadi.
Memasuki Milenium
2000 angka PKL di Surakarta semakin melonjak dan Bantaran Sungai Pepe dan Kali
Anyar yang awalnya dihiasi oleh Taman Tirtonadi berubah fungsi menjadi Taman
Para PKL. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat hingga akhirnya para
PKL ini mendirikan bangunan semi permanen untuk tempat tinggal. Perluasan
Terminal Tirtonadi membuka peluang besar bagi mereka untuk bersikukuh tinggal
di sepanjang bantaran.
Kawasan Taman Tirtonadi sebelum direvitalisasi
adalah kawasan pemukiman tidak sah artinya itu bantaran yang dihuni secara
ilegal kemudian dikembalikan fungsinya oleh pemkot sebagaimana fungsinya
sebagai bantaran sungai yang memiliki fungsi kawasan penyangga banjir dan
daerah resapan air. Sekitar tahun
2005 itu mulai menjamur rumah liar, tahun 2006 dibersihkan, 2007 dibangun. Ukuran luas Taman Tirtonadi pada tahun 2008
adalah sekitar 350 m². Biaya keseluruhan untuk pembangunan adalah 1,2 M.
Pembangunan ini diharapkan akan memberi manfaat bagi masyarakat Solo khususnya
dan pendatang umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Arsip
Overzichtkaart Tirtonadi
Complex/Partimah Park, Koleksi Perpustakaan Rekso Pustoko No.A166
Jaya Baya, 29 Mei 1988, Taman Tirtonadi
Kepriye Kabarmu?,(Surakarta: Perpustakaan Rekso Pustoko), No.3526
Suara Merdeka, 19 Maret 1983, Tirtonadi dan Minapadi Obyek Wisata yang Kian Merana, (Surakarta :
Perpustakaan Rekso Pustoko). No.MN.243
B. Skripsi
Nina Astiningrum. 2002. “Kebijakan Mangkunegara VII dalam Pembangunan Perkotaan
di Praja Mangkunegaran 1916-1944”. (Surakarta: FKIP UNS)
C. Sumber Online
http://www.scribd.com/doc/Hasil-Penelitian-HMI-Tentang-Kebijakan-Publik-Tata-Kota, diakses tanggal 12 Juni 2013 pukul 16.30
http://madebhela.com/2011/06/solo-dalam-upaya-memanusiawikan-kota,diakses tanggal 11 Juni 2013 pukul 19.50
D. Undang-undang
UU
Sungai No
7 tahun 2004
LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN
·
Narasumber 1
Nama: Sultan Najamudin
Waktu: 25 Juni
2013, (13.20.13.49 WIB)
Keterangan: Kasubid
Pencemaran Badan Lingkungan Hidup (BLH)
·
Narasumber 2
Nama: Mulyono
Waktu: 27 Juni 2013, (11.04-11.15WIB)
Keterangan : Pedagang Mie Ayam Keliling Taman Tirtonadi
·
Narasumber 3
Nama: Adi
Waktu: 27 Juni 2013, (11.52-12.00 WB)
Keterangan: Tukang Parkir Taman Tirtonadi
·
Narasumber 4
Nama : Jiman
Waktu: 27 Juni 2013, (12.00-12.10 WIB)
Keterangan: Tukang Becak Tirtonadi
·
Narasumber 5
Nama : Harti
Waktu : 27 Juni 2013 (12.15-12.30 WIB)
Keterangan: Pedagang Kaki Lima Paguyuban Mugirahayu
Terminal Tirtonadi
·
Narasumber 6
Nama: Agus
Waktu: 30 Juni 2013 (13.50-14.15)
Keterangan: Seniman Kethoprak Tirtonadi
[1] Nina Astiningrum.2002. “Kebijakan
Mangkunegara VII dalam Pembangunan Perkotaan di Praja Mangkunegaran
1916-1944”. Skripsi FKIP UNS, Hlm.2
[3] Jaya Baya, 1988. Taman Tirtonadi Kepriye Kabarmu?,(Surakarta:
Perpustakaan Rekso Pustoko), No.3526
[6] Suara Merdeka.1983, Tirtonadi dan Minapadi Obyek Wisata yang Kian Merana,
(Surakarta : Perpustakaan Rekso Pustoko). No.MN.243
[21] http://www.suaramerdeka.com/harian/0404/29/solo08.htm , diakses tanggal 28 Juni 2013 pukul
13.45
[27] HMI,
Kebijakan Publik Tata Kota, (online, http://www.scribd.com/doc/40217654/Hasil-Penelitian-HMI-Tentang-Kebijakan-Publik-Tata-Kota),
diakses tanggal 12 Juni 2013 pukul 16.30, hlm. 8
[30] http://madebhela.com/2011/06/solo-dalam-upaya-memanusiawikan-kota, diakses tanggal 11 Juni 2013 pukul 19.50